STUDI KASUS PERMASALAHAN PEMASARAN PETERNAKAN
I
Pendahuluan
Salah satu subsektor dalam pertanian adalah subsektor peternakan dimana kegiatannya berupa pengelolaan komoditas ternak. Hasil dari usaha peternakan dapat berupa susu, daging dan telur. Sapi merupakan salah satu komoditas pada subsektor peternakan. Sapi memiliki beberapa jenis yaitu sapi potong yang memproduksi daging dan sapi perah yang memproduksi
susu. Sapi potong merupakan hewan ternak yang dapat menopang kebutuhan konsumsi daging, karena sapi dapat diternakkan secara sederhana, mudah, disukai banyak kalangan masyarakat dan tubuhnya cukup besar apabila dibandingkan dengan ternak lain. Daging sapi memiliki keunggulan sebagai suatu produk yaitu sebagai penyedia gizi yang baik (Yulianto dan Saparinto, 2010).
Kebijakan pemerintah dengan adanya swasembada daging tahun 2014 menjadi tantangan dalam sektor pertanian khususnya subsektor peternakan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2012 dapat diketahui bahwa jumlah produksi daging sapi dalam negeri tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi daging sapi di Indonesia.
Pemerintah mengambil langkah kebijakan terkait dengan impor daging sapi dari luar negeri sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi dalam negeri. Kebijakan impor ini dilakukan agar pasokan daging sapi di dalam negeri dapat terjaga. Adanya permintaan terhadap daging sapi menuntut para produsen yang menawarkan daging untuk melakukan sebuah upaya. Bentuk upaya yang dilakukan adalah upaya untuk mengatur jumlah pasokan daging sapi agar terjadi kesesuaian antara jumlah permintaan konsumen dengan daging sapi yang ditawarkan.
Rantai pasokan atau supply chain merupakan suatu konsep dimana terdapat sistem pengaturan yang berkaitan dengan aliran produk, aliran informasi maupun aliran keuangan (finansial). Pengaturan ini penting untuk dilakukan terkait banyaknya mata rantai yang terlibat dalam rantai pasokan daging sapi dan melihat karakteristik produk yang mudah rusak dan harganya relatif tinggi jika dibandingkan dengan hasil komoditas ternak lainnya. Kegiatan dalam rantai pasokan merupakan proses penyampaian produk yang awalnya berupa sapi potong hidup menjadi daging sapi yang siap untuk dipasarkan dari peternak sapi potong hingga ke konsumen daging.
Kegiatan rantai pasok daging sapi potong perlu dilakukan untuk memenuhi permintaan konsumen yang tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia dimana keberadaan konsumen tidak berdekatan dan jumlah permintaan cenderung tidak pasti setiap harinya Rantai pasokan daging sapi harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi kelancaran proses distribusi hingga ke tangan konsumen akhir. Karena selain untuk memenuhi permintaan konsumen, bentuk pengaturan dalam rantai pasokan daging juga bertujuan untuk menguntungkan mata rantai yang terlibat. Sehingga diperlukan sebuah pendekatan pada sistem rantai pasokan yang berupa pendekatan untuk mengetahui aliran produk, aliran keuangan, aliran informasi, karena hal tersebut akan mempengaruhi pengambilan keputusan mata rantai yang ada. Pengambilan keputusan yang tepat akan bermanfaat dalam menjaga pasokan dan mutu daging. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pengaruh dan peranan saluran distribusi dalam rantai pasok daging sapi.
II
Permasalahan
Harga daging sapi di pasaran saat ini sangat tinggi, bahan kenaikannya sangat sulit untuk diprediksi. Harga daging karkas melenting tinggi. Memasuki bulan maret 2015, harga daging karkas di rumah pemotongan hewan mencapai Rp 68 ribu per kg, naik 27% dari harga awal tahun (Rp 52-55 ribu per kg). Harga di tingkat konsumen sendiri melonjak menjadi Rp 90 ribu per kg di Pasar Tradisional. Bahkan, untuk harga daging premium mencapai Rp 150 ribu per kg. Padahal harga di awal tahun baru Rp 70 ribu per kg. Kenaikan harga yang tak terkendali membuat pedagang bakso, pedagang makanan, serta pengusaha restoran dan katering hampir gulung tikar. Apalagi kenaikan harga daging sapi ini tidak diikuti dengan ketersediaan pasokan yang cukup (tidak mudah didapatkan di pasar).
Importir dan pemerintah saling tuding. Menurut importir, kenaikan harga terjadi karena daging langka. Sumber masalahnya, pemerintah memangkas kuota impor daging dan sapi secara drastis. Pada 2011, kuota impor daging dan sapi masing-masing 100 ribu ton dan 560 ribu ekor. Tahun ini, kuota impor daging dan sapi dipangkas tinggal 34 ribu ton (tinggal 34 persen dibanding tahun lalu) dan 283 ekor (50 persen). Menurut importir, pemerintah terlalu optimistis dengan kemampuan pasokan sapi domestik. Pendek kata, menurut importir, Indonesia belum siap menghadapi pemotongan kuota impor sebesar itu.
Pemerintah punya versi berbeda. Menurut pemerintah, pasokan lebih dari cukup. Sapi lokal bisa memenuhi kebutuhan. Bahkan stok di perusahaan penggemukan sapi di Jabodetabek saat ini ada 130 ribu ekor. Pada November-Desember juga akan masuk sisa impor kuartal IV sebanyak 15 ribu sapi. Jika masih kurang, ada 5.000 sapi siap potong dari Nusa Tenggara Barat. Menurut versi pemerintah, masalah ialah ada pada aspek distribusi yang kurang lancar.
Dilihat dari transmisi harga, kenaikan harga daging saat ini tidak wajar. Menjelang Idul Adha, harga daging sapi hidup di peternak Rp 32 ribu per kg. Saat itu, harga di tingkat konsumen Rp 80 ribu per kg. Saat ini, harga daging di tingkat konsumen Rp 90-100 ribu per kg. Tapi harga daging sapi hidup di tingkat peternak hanya Rp 33 ribu per kg. Transmisi harga dari peternak ke konsumen bersifat asimetris. Ini menandakan pasar daging tak sehat. Dugaan ada sekelompok kecil orang yang memiliki kekuatan mengendalikan pasokan, dan mengatur harga di pasar.
Kelangkaan sapi yang dikeluhkan importir dan pedagang bukan tidak berdasar. Tetapi tentu bukan tanpa alasan pemerintah memangkas kuota impor (daging dan sapi). Pemangkasan impor didasari data populasi ternak domestik. Menurut hasil survei peternakan, per Juni 2011 populasi sapi potong mencapai 14,82 juta ekor. Sebelumnya, data populasi ternak ini belum kita miliki. Kebutuhan daging nasional tahun 2012 mencapai 484.060 ton. Kebutuhan itu dipenuhi dari daging lokal 399.320 ton, sisanya 84.740 ton (17,5 persen) dari impor. Pasokan daging lokal itu setara dengan 2,4 juta ekor. Dengan populasi sapi potong 14,82 juta ekor, kebutuhan 2,4 juta ekor tentu memadai.
Namun, data-data itu sama sekali tidak merefleksikan kondisi di lapangan. Sampai saat ini struktur industri peternakan domestik untuk semua komoditas ternak, termasuk sapi, sebagian besar (60-80 persen) bertahan dalam bentuk usaha rakyat dan usaha sambilan yang berciri pendidikan rendah, pendapatan rendah, manajemen dan teknologi konvensional, serta menggunakan tenaga kerja keluarga (Yusdja dan Winarso, 2009). Bagi peternak jenis ini, sapi adalah tabungan yang likuid yang bisa dimanfaatkan setiap saat ketika ada kebutuhan mendesak. Usaha itu tersebar di banyak tempat. Tak mudah memobilisasi ternak-ternak itu untuk memasok kebutuhan mendesak.
Ternak sapi belum menjadi usaha utama karena dua hal. Pertama, akses modal melalui perbankan untuk pengembangan peternakan komersial penggemukan maupun pembibitan skala kecil (10-50 ekor) cukup sulit diperoleh. Kedua, keterbatasan sumber daya manusia, terutama tenaga kerja, sebagai pencari pakan hijauan yang membatasi jumlah pemilikan ternak. Akibatnya, peternak sulit meningkatkan jumlah ternak, sehingga sapi betina usia produktif terpaksa harus jadi ternak konsumsi. Padahal, untuk menambah populasi, pemotongan sapi betina produktif harus dihindari.
Jika pun ternak sudah terkumpul, tidak mudah mendistribusikan dari produsen ke konsumen. Ini terjadi karena jalur distribusi dari produsen ke konsumen amat panjang. Ironisnya, dalam rantai distribusi yang panjang itu, margin tidak terbagi merata. Pangsa terbesar margin pemasaran ada pada pedagang besar. Namun yang menikmati keuntungan besar justru para jagal. Artinya, margin keuntungan tidak terdistribusi adil. Selain itu, kita belum memiliki moda transportasi khusus. Selama ini sapi dari NTT atau NTB diangkut menggunakan kapal (umum). Ongkos angkut mahal karena, saat balik, kapal kosong. Ini salah satu yang membuat harga daging sapi lokal lebih mahal ketimbang impor. Lagi pula, karena kapal tak didesain khusus, selama perjalanan sapi bisa stres dan susut bobot.
III
Metode Analisis
Analisis yang digunakan dalam mengkaji kasus ini digunakan acuan dengan mengumpulkan beberapa sumber data (data sekunder) yang diperoleh melalui survey langsung ke lapangan, berbagai dokumen dan jurnal, untuk mendapatkan data yang terperinci dan komprehensif mengenai kasus yang diteliti. Catatan dokumen merupakan hasil pengumpulan berbagai dokumen yang berupa berbagai bentuk data sekunder, seperti buku laporan, dokumentasi, dan jurnal.
Selain pengumpulan data, analisis dilakukan dengan menelaah data dengan aspek teorotis yang melatarbelkanignya. Dimaksudkan, data yang diperoleh didukung oleh aspek teoritis yang membangun konsep dasar yang jelas serta untuk mencapai validitas dan realibilitas pengkajian kasus. Dengan adanya berbagai sumber data tersebut, peneliti dapat meyakinkan kebenaran dan keakuratan data yang diperoleh dengan mengecek saling-silangkan antar data yang diperoleh. Metode yang digunakan dalam studi kasus ini adalah metode deskriptif dan analitik.
IV
Pembahasan
Berdasarkan data di lapang dapat diketahui bahwa terdapat 3 aliran yaitu aliran produk, aliran keuangan dan aliran informasi dalam rantai pasokan daging sapi. Ketiga aliran tersebut mengalir pada mata rantai seperti peternak, pedagang sapi hidup, pengusaha daging (jagal), pihak RPH, pedagang pengecer dan konsumen. Semakin banyaknya mata rantai maka semakin banyak pula biaya (cost) yang harus dikeluarkan sehingga akan mengakibatkan kenaikan harga pada daging sapi. Aliran distribusi yang begitu memiliki efek negatif terhadap mahalnya biaya produk, namun akan berdampak positif pada penyebarluasan produk dalam hal ini pemasaran produk mampu lebih banyak akibat adanya saluran distribusi yang banyak. Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan pada kenaikan harga dinilai memberatkan terhadap konsumen, sehingga dinilaiperlu adanya suatu upaya untuk mengoptimalkan ketiga aliran yang ada pada rantai pasokan daging sapi dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dengan melibatkan beberapa pihak, seperti peternak, pedagang sapi potong, pengusaha daging, pengecer, konsumen dan pihak pemerintah sebagai penentu kebijakan. Persediaan sapi hidup di Indonesia dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging konsumen yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah populasi setiap tahunnya. Bertambahnya jumlah populasi sapi potong merupakan hasil dari program IB (Inseminasi Buatan) yang menjadi kebijakan dari pemerintah untuk mengurangi jumlah impor daging sapi.
Pihak yang berperan dominan dalam pasokan daging sapi di Indonesia pengusaha daging sebagai pelaku utama, karena apabila pengusaha daging tidak melakukan pemotongan sapi maka tidak ada daging yang dapat dipasok untuk memenuhi permintaan konsumen. Pihak pemerintah yang diwakili oleh unit Rumah Pemotongan Hewan harus melakukan pengawasan terhadap kuantitas dan kualitas daging yang diproduksi. Pihak RPH dapat melakukan kerjasama dengan para pengusaha daging untuk mengatur pasokan daging sapi di Indonesia. Proses rantai pasokan daging agar lebih optimal harus dipusatkan melalui pemotongan resmi, sehingga pemeriksaan kuantitas dan kualitas bisa dilakukan secara langsung. Pemotongan yang bersifat ilegal atau tanpa pengawasan pihak RPH dapat dikenakan sanksi yang lebih tegas dengan mencabut surat ijin pemotongan. Disamping itu, kondisi kelayakan RPH baik secara fisik maupun manajemen lebih diperhatikan agar pengusaha daging melakukan pemotongan resmi di RPH. Sehingga pendekatan dan pengelolaan tersebut akan mendukung kinerja (perfomance) mata rantai dalam menawarkan daging sapi.
Aspek distribusi atau pemasaran sendiri bisa dianalisis dengan melihat adanya fluktuasi pada nilai harga jual. Harga jual digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan rantai pasokan yaitu dengan mengetahui efisiensi pemasaran. Menurut Daniel (2004), sistem pemasaran dapat dikatakan efisien apabila mampu menyampaikan produk dari produsen hingga ke konsumen dengan biaya yang serendah-rendahnya. Disamping itu, pemasaran yang efisien apabila mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi dan pemasaran tersebut
V
Kesimpulan dan Saran
Pemerintah sebagai lembaga yang mengatur sebaiknya dijadikan sebagai pusat tata kelola dalam regulasi rantai pasok daging dengan meningkatkan perannya dalam kegiatan pengawasan terhadap proses jual beli sapi potong hidup di pasar hewan, memperhatikan kelayakan RPH baik secara fisik maupun manajemen, pemeriksaan pemotongan sapi yang dilakukan sesuai prosedur dan pengawasan peredaran daging sapi baik secara kuantitas maupun kualitas. Pemerintah-pun sebaiknya mampu menjadi regulator dalam saluran distribusi, sehingga bisa memangkas nilai biaya pada saluran distribusi serendah-rendahnya tanpa mengesampingkan pendistribusian daging.
Dafftar Pustaka
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Data Produksi Daging Sapi di Indonesia Tahun 2007-2010. Diakses dari (http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/nak.php). Pada tanggal[22 Maret 2014].
Yulianto P, C Saparinto. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif. Jakarta: Penebar Swadaya.
Yusdja dan Winarso, 2009. Pemantapan program dan strategi kebijakan peningkatan produksi daging sapi. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan. Bogor.
Adi Ginanjar Maulana. Kenaikan Harga Daging Sapi Dan Ayam Akibat Permainan Distributor. 2014. diakses http://bandung.bisnis.com//kenaikan-harga-daging-sapi-dan-ayam-akibat-permainan-distributor
Daniel M. 2004. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara.
Emhar A., dkk. 2014. Analisis Rantai Pasokan (Supply Chain) Daging Sapi di Kabupaten Jember. Universitas Jember. Jember
0 Response to "“Banyaknya Saluran Distribusi dan Rantai Pasok Terhadap Tingginya Harga Daging Sapi”"
Posting Komentar