Pendahuluan
Perubahan dunia yang memasuki era globalisasi saat ini membuat perdangan komoditas pertanian mengalami persaingan yang cukup ketat. Sektor pertanian ini pun tidak lagi menjadi aktivitas yang sederhana, tidak sekedar bercocok tanam tapi menjadi suatu kegiatan bisnis yang kompleks sehingga memaksa petani sebagai produsen utama produk-produk pertanian secara langsung dan tidak langsung memasuki persaingan dengan produsen lain yang tidak hanya berasal dari negara Asia Tenggara namun juga dari negara kawasan Asia Fasifik dan Amerika latin. Membanjirnya produk impor menjadi bukti bahwa fenomena pasar bebas telah mulai berlangsung saat ini dengan menetapkan beberapa persyaratan seperti sanitary dan phytosanitary dan persyaratan karantina lainnya, persyaratan keamanan, persyaratan mutu dan teknis lainnya, registrasi kebun dan penerapan Good Agricultural Practice (GAP).
Untuk memenangkan persaingan tersebut, tantangan yang paling dominan bagi agroindustri adalah kemampuan untuk memberikan jaminan kepada konsumen bahwa produk yang akan mereka konsumsi bermutu dan aman, serta pada tingkat harga yang terjangkau. Konsekuensinya, industri pangan dan bahan baku pangan harus mampu menerapkan sistem jaminan mutu dan jaminan keamanan pangan sebagai fokus kegiatan utama. Walaupun faktor mutu akan menambah biaya produksi, peningkatan biaya tersebut akan diimbangi dengan penerimaan oleh konsumen. Disamping dapat menimbulkan citra yang baik dari konsumen, pengendalian mutu yang efektif akan mengurangi tingkat risiko rusak atau susut. Keinginan konsumen terhadap praktik bisnis yang jujur dan dapat dipercaya dinyatakan dengan adanya traceability (keterlacakan) produk pertanian yang mereka beli.
Jawaban dari tuntutan konsumen atas produk yang aman adalah dengan menerapkan GAP (Good Agricultural Practice). Kebijakan dan strategi umum lainnya yang diambil adalah pengurangan kemiskinan, peningkatan daya saing dan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam berkelanjutan. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian dilakukan antara lain dengan praktek usaha pertanian yang baik (Good Agricultural Practices = GAP). Pelaksanaan GAP merupakan bentuk tanggung jawab petani terhadap konsumen, dirinya sendiri, sosial (keselamatan, keamanan dan kesejahteraan pekerja tani) dan lingkungannya ( penggunaan pestisida, pupuk dan sarana usaha pertanian lainnya secara bijaksana). Karakter praktik pertanian GAP ini disesuaikan dengan upaya merevolusi revolusi hijau.
Penerapan Good Agricultural Practice
Dewasa ini di tingkat global telah terjadi perubahan nilai dan konsep pada konsumen terhadap produk-produk pertanian yang mereka konsumsikan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku dan sikap mereka dalam membeli suatu produk agrisbisnis. Meningkatnya kesadaran konsumen akan kaitan kesehatan dan kebugaran dengan konsumsi makanan, telah meningkatkan tuntutan konsumen akan nutrisi produk-produk yang sehat, aman dan menunjang kebugaran. Keamanan pangan menjadi kunci yang menentukan kualitas produk pangan.
Deininger (2006) menyatakan kelemahan dalam penanganan sistem keamanan pangan dapat menyebabkan biaya yang tinggi bagi masyarakat dan berakibat bagi ekonomi global. World Health Organization (WHO) memperkirakan kurang lebih 2,2 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit diare yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan organisme patogen yang disebarkan oleh air yang telah terkontaminasi. Di India diperkirakan 20 persen kematian dari balita disebabkan oleh penyakit diare. Saat wabah SARS menyebar di Asia Timur tahun 2003 ternyata menyebabkan hilangnya pertumbuhan ekonomi sebesar 2 persen dari wilayah tersebut pada seperempat tahun pertama, walaupun hanya 800 orang yang akhirnya meninggal akibat penyakit tersebut.
Sedangkan Lowy Institut for International Policy (2006) memperkirakan mewabahnya penyakit avian invluenza menyebabkan meningkatnya biaya ekonomi bagi 1,4 juta penduduk dunia yang mendekati 0,8 persen GDP dunia atau sekitar US$ 330 miliar. Sedangkan di lain pihak timbulnya peningkatan reaksi di berbagai negara untuk melindungi negaranya dari ancaman kemanan pangan dapat menyebabkan konsekuensi negatif bagi negara pengekspor pangan. Diperkirakan akibat dari pemberlakuan penyelarasan nilai standar aflatoksin bagi 15 negara Eropa oleh Uni Eropa dari bahan makanan impor 9 negara Afrika telah menyebabkan berkurangnya ekspor negara Afrika sebanyak 64 persen atau senilai US$ 670 juta.
Meningkatnya kesadaran konsumen akan produk pertanian yang aman bagi kesehatan dan kebugaran, aman bagi keselamatan dan kesehatan kerja, aman bagi kualitas dan kelestarian lingkungan hidup mendorong dikembangkannya berbagai persyaratan teknis bahwa produk harus dihasilkan dengan teknologi yang akrab lingkungan. Penilaian terhadap aspek keselamatan kerja, kesehatan konsumen dan kualitas Lingkungan dilakukan pada keseluruhan proses agribisnis dari hulu sampai hilir (pemasaran). Konsumen hijau mendesak WTO agar perubahan sikap perilaku dan permintaan akan kualitas produk-produk pertanian diintegrasikan dalam kebijakan perdagangan internasional produk-produk pertanian. Permintaan dan desakan konsumen kemudian ditampung dan diperhatikan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO). Hal tersebut di ataslah yang juga turut mendorong berbagai negara di belahan dunia untuk menerapkan Praktek Pertanian yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP)
Meskipun secara umum implikasi dari perdagangan bebas ternyata belum sepenuhnya dapat diterapkan untuk Indonesia. Hal ini dapat ditegaskan oleh Achterbosch (2004) yang menyatakan bahwa meskipun rezim perdagangan di Indonesia yang cukup bebas telah lama diberlakukan semenjak menghadapi krisis Asia akhir tahun 1990, diperkirakan hanya sedikit masyarakat pertanian dengan skala kesejahteraan kecil menengah yang mendapat efek langsung dari perdagangan bebas. Hal ini disebabkan masih minimnya integrasi pertanian di Indonesia dengan perdagangan bebas.
Sementara itu, kondisi dunia pertanian di Indonesia sendiri juga mengalami tantangan yang cukup merisaukan, salah satunya adalah terjadinya konversi lahan yang cukup besar. Mariyono et all (2007) menyatakan konversi lahan pertanian mengakibatkan dua dampak yang sangat tidak menguntungkan baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekologi konversi lahan akan menyebabkan menurunnya daya dukung lahan. Konversi lahan pertanian juga secara potensial dapat menyebabkan berkurangnya produksi air tanah dan menyebabkan banjir. Sedangkan secara ekonomi konversi lahan tidak hanya berimbas pada berkurangnya lahan dan produksi pertanian, tetapi juga menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja baik bagi buruh tani maupun pemilik lahan, berkurangnya investasi infrastruktur di bidang pertanian, seperti irigasi, kelembagaan, dan menyebabkan konsekuensi negatif bagi lingkungan.
Secara umum konversi lahan pertanian dalam jangka panjang akan menurunkan kesejahteraan petani, yang dapat diidentifikasikan dari penurunan luas lahan milik dan luas lahan garapan, penurunan pendapatan pertanian, serta tidak signifikannya pendapatan non pertanian (Ruswandi, et all, 2007).
Besarnya tuntutan akan produk pangan yang baik, sehat dan berwawasan lingkungan adalah suatu hal yang tidak dapat terelakkan. Peningkatan tingkat pendidikan dan ekonomi masayrakat mengekibatkan tuntutan baru akan pangan di berbagai belahan dunia. Kondisi tersebut mau tidak mau harus dihadapi oleh Indonesia. Tuntutan akan produk pangan yang aman tidak hanya dipandang sebagai hambatan bagi dunia pertanian di Indonesia, namun juga harus dilihat sebagai sebuah tantangan dan peluang bagi para stakeholder di bidang pertanian.
EurepGAP dan GlobalGAP
Kepedulian asosiasi pengecer terhadap penyediaan pangan yang aman dan bermutu sangat besar setelah adanya tuntutan yang dilayangkan oleh konsumen. Hal ini diimplementasikan bersama dengan para pemasok dan produsen pangan/petani dalam bentuk EurepGAP dan kemudian disosialisasikan untuk dipraktekkan oleh seluruh produsen pangan di seluruh daerah yang mengekspor produknya dalam jaringan supermarket eropa. EurepGAP merupakan singkatan dari Euro Retail Produce Working Group-Good Agriculture Practice yang dimulai dari inisiatif jaringan pengecer di Eropa pada tahun 1996. EurepGAP menjadi standar praktik pertanian yang baik, bersifat sukarela, tidak wajib dan bukan praktik resmi negara-negara eropa dan bertujuan tidak mencari keuntungan.
Protokol EurepGAP mengatur cara produksi berbagai jenis pangan. standar pertama yang diterbitkan adalah EurepGAP untuk buah dan sayur yang diselaraskan dengan EurepGAP IFA (Integrated Farm Assurance) dan mengatur tentang traceability/keterlacakan, catatan kebun, varietas dan batang bawah, sejarah lahan dan pengelolaan lahan, tanah dan media tumbuh, pupuk, irigasi, perlindungan tanaman, panen, pasca panen, sampah dan polusi, kesehatan dan keselamatan pekerja, isu lingkungan, formulir pengaduan dan audit internal.
Kesuksean EurepGAP dan penerimaannya dihampir seluruh dunia menyebabkan sistem ini diadopsi menjadi GlobalGAP. Organisasi ini menjadi referensi kunci untuk Praktik Pertanian yang Baik (GAP) pasar global, dengan menerjemahkan kebutuhan konsumen ke dalam produksi pertanian. GlobalGAP merupakan institusi swasta yang menerapkan standar sertifikasi sukarela untuk produksi pertanian di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk menetapkan satu standar untuk GAP yang sesuai dengan berbagai produk pertanian pada seluruh praktik pertanian secara global. GlobalGAP berfungsi sebagai panduan praktis untuk GAP seluruh dunia yang berdasar pada kemitraan yang setara dari produsen dan pengecer yang ingin menerapkan standar sertifikasi yang efisien dan prosedur penerapan GAP.
Standar GlobalGAP terutama dirancang untuk meyakinkan konsumen tentang bagaimana makanan diproduksi di pertanian dengan meminimalkan dampak lingkungan yang merugikan pada aktivitas pertanian, mengurangi penggunaan input kimia, dan memastikan pendekatan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan pekerja dan keamanan serta kesejahteraan ternak. GlobalGAP merupakan standar pada level usaha tani yang berarti bahwa sertifikat ini mencakup proses dari sertifikasi input pertanian seperti pakan atau bibit dan semua kegiatan pertanian sampai produk meninggalkan lahan pertanian. GlobalGAP adalah label bisnis-ke-bisnis dan kerena itu tidak langsung terlihat oleh konsumen. Sertifikasi GlobalGAP dilakukan oleh lebih dari 100 badan sertifikasi independen dan terakreditasi di lebih dari 100 negara.
Implementasi GAP di Indonesia
GAP di Indonesia telah diterapkan pada ternak (ayam, itik, sapi, kerbau, kambing dan domba) serta buah dan sayuran. Serangkaian Keputusan/Peraturan Menteri Pertanian telah diterbitkan sebagai pedoman pelaksanaannya seperti yang telah diterapkan pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48 Permentan/OT.140/10/2009 tentang Pedoman Budidaya Buah dan Sayur yang Baik (Good Agriculture Practice for Fruit and Vegetables).
GAP pada tanaman buah-buahan adalah proses produksi berdasarkan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memenuhi aspek keamanan pangan dan pelestarian lingkungan sehingga selain dihasilkan buah bermutu baik dan aman dikonsumsi, juga mana bagi pekerja dan lingkugan serta menggunakan cara-cara yang dapat menjaga harkat dan martabat manusia dan memperhatikan kesejahteraan petani.
Di Indonesia terjadi persaingan dipasar antara buah tropika produksi domestik dengan buah impor. Posisi buah domestik semakin terdesak karena tingginya mutu buah impor. GAP pada buah-buahan sendiri mencakup penerapan teknologi yang ramah lingkungan, penjagaan kesehatan dan peningkatan kesejahteraan pekerja, mencegah penularan organisme pengganggu tanaman dan traceability. Tujuannya antara lain meningkatkan produksi dan produktivitas, meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumsi, meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing, memperbaiki efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mempertahankan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan, mendorong petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap mental yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan, meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar internasional, dan memberi jaminan keamanan terhadap konsumen. Sedangkan sasaran yang akan dicapai adalah terwujudnya keamanan pangan, jaminan mutu, usaha agribisnis hortikultura berkelanjutan dan peningkatan daya saing.
Walaupun belum semua komoditas pertanian di Indonesia sudah menerapkan GAP dalam pengembangan agribisnisnya, namun penerbitan Permentan tersebut merupakan sebuah langkah maju dan merupakan dasar hukum yang jelas atas pelaksanaan GAP di Indonesia. Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun para petaninya belum sepenuhnya menerapkan GAP. Avendano dan Calvin (2006) menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat melalui Food and Drugs Administration (FDA) baru menerbitkan panduan GAP bagi para petani untuk meminimalkan resiko mikrobia bagi buah segar dan sayuran pada tahun 1998. FDA bahkan sampai saat ini masih memberlakukan GAP bersifat Voulentary atau sukarela dan belum menjadi kewajiban. Menurut catatan FDA hingga 2002 baru 29 persen petani di AS yang sudah menerapkan GAP dalam praktek budidaya pertanian, dan sekitar 51 persen lainnya baru dalam tahap persiapan menuju GAP.
Mahalnya biaya yang harus dikeluarkan tentu menjadi kendala besar untuk dapat diterapkan oleh para petani di Indonesia yang mayoritas masih berkutat dengan masalah kemiskinan dan lemah dalam SDM terutama dilihat dari tingkat pendidikan para petani di Indonesia. Untuk menerapkan GAP di Indonesia saat ini dioptimalkan untuk dilaksanakan oleh perusahaan agribisnis yang berskala besar dan berorientasi ekspor. Pemerintah sendiri telah membantu penerapan GAP tersebut dengan SOP khusus pada setiap komoditas pertanian yang hendak diusahakan, namun baru terbatas pada komoditas hortikultura. Pemerintah juga telah memberikan penghargaan kepada berbagai kebun buah yang telah menerapkan standar GAP melalui penghargaan kategori Prima 3, Prima 2 dan Prima 1 untuk merangsang penerapan GAP bagi kebun hortikultura buah.
Tantangan lainnya adalah rumitnya prosedur penerapan GAP yang harus diperhatikan oleh perusahaan agribisnis di Inonesia apabila ingin mengekspor produknya ke luar negeri terutama negara-negara di Uni Eropa maupun Amerika Serikat. Ender dan Mickazo (2008) menyatakan bahwa negara-negara di Uni Eropa juga menggunakan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) untuk diterapkan dalam penilaian GAP. Bahkan The National Advissory Committe on Microbiological Criteria for Foodsyang dimiliki oleh Pemerintah AS juga menyarankan pemakaian HACCP sebagai alat penilaian dalam keamanan pangan. Penerapan strategi dasar HACCP pada Good Agricultural Practice (GAP) pada lahan pertanian meliputi panduan umum yang terdiri dari :
- program perawatan peralatan
- program sanitasi termasuk pada fasilitas pengepakan
- pembersihan akhir musim tanam
- tempat penyucian dan pengepakan
- pelatihan bagi para karyawan
- program penangan hama dan penyakit
- program perawatan gudang
- transportasi
- dan pengambilan sampel mikrobia
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian telah mendorong pemberlakuan praktek-praktek pertanian yang baik dan ramah lingkungan. Prinsip-prinsip dalam GAP di Indonesia kemudian diselarakan dengan program pengendalian hama terpadu (Integrated Pest Management) dan pengelolaan tanaman terpadu (Integrated Crop Management). Pendekatan pengelolaan ini penting untuk perbaikan dan pengelolaan pertanian dalam jangka panjang. Fitur kuncinya adalah penggunaan yang hati-hati terhadap produk agrokimia termasuk pestisida, pupuk kimia, dan zat pengatur tumbuh. Karena itu, GAP memanfaatkan pengendalian hama, penyakit dan gulma sampai taraf aman yang dikehendaki, yaitu pada batas biaya ekonomis bagi petani dan bahaya yang minimla bagi operator, orang lain di sekitarnya dan lingkungan hidup. Hal lain yang bersifat sentral dan penting adalah adanya jejak audit yang jelas, dengan penyelenggaraan dokumentasi yang komprehensif untuk seluruh tahapan budidaya, prosesing, penyimpanan hasil, atau bahan baku industri sehingga dapat dirunut kembali. Secara praktis hal ini dilakukan melalui penyusuanan protokol, pencatatan dan pendataan tahapan-tahapan kegiatan GAP termasuk penggunaan pestisida, pupuk kimia dan zat pengatur tumbuh. Hal ini juga akan menjamin konsumen bahawa mereka mendapatkan output bahan pangan yang terjamin dan memenuhi standar kualitas yang tinggi.
Prosedur dalam GAP ini tidak langsung dapat diterapkan karena sangat umum. Untuk menerapkannya diperlukan Prosedur Operasional Standar yang spesifik komoditas (bahkan varietas), lokasi dan target pasar. Pada saat ini sudah dibuat lebih dari 50 Prosedur Operasional Standar beberapa varietas buah spesifik untuk masing-masing sentra produksi.
Kesimpulan
Tuntutan konsumen akan semakin meningkat terhadap pemenuhan makanan yang aman dan dengan pengolahan budidaya yang berwawasan lingkungan. Sementara penerapan GAP di Indonesia saat ini belum akan dapat dilaksanakan secara optimal mengingat besarnya biaya penerapan GAP pada sistem pertanian serta masih rumitnya prosedur penerapan GAP untuk dapat diterapkan pada petani di Indonesia yang mayoritas merupakan petani miskin dengan tingkat SDM yang rendah serta kepemilikan lahan yang rendah pula. Penerapan GAP di Indonesia baru dapat dimungkinkan pada perusahaan-perusahaan agribisnis dengan skala besar yang telah berorientasi ekspor terutama pada perusahaan perkebunan yang tergabung dalam GlobalGAP dengan komoditas yang telah diakui kualitasnya di dunia Internasional. Untuk dapat memacu penerapan GAP di Indonesia Pemerintah perlu menerbitkan landasan hukum penerapan GAP untuk produk lain di luar buah-buahan.Pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan proteksi sektor pertanian sambil mendorong penerapan GAP di Indonesia.
Daftar Pustaka
Afterbosch, J Thom. Hutabarat, Budiman. Syafaat, Nizwar. Van Tongeren, Fran W. 2004. Indonesian Interest in The Agricultural Negotiations Under The Doha Development Agenda : An Analysys of The “Juli 2004 Package” . Jurnal Agro Ekonomi Vol 22 No 2. 97 – 118.
Amar Mukadar, 2011, GAP (Good Agricultural Practices) dan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), http://googleindonesianatural.blogspot. com/2011/02/gap-good-agricultural-practices-dan.html, diakses pada tanggal 20 September 2012.
Deininger, Dina Umali. Sur, Mona. 2006. Food Safety in The Globalizing World : Opportunities and Challenges for India. Proceeding International Association of Agricultural Economist Conferrence, 12 – 18 Agustus 2006. World bank. Gold Coast Australia. 1 – 390
Mariyono, Joko. Harini, Rika. Agustin, Nur K. 2007. Impacts of Economic Development and Population Growth on Agricultural Land Conversion in Jogjakarta : a Dynamic Analysis. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 8, No 1, 50 – 61.
Roedhy Poerwanto. 2012. Good Agriculture Practice: Merevolusi Revolusi Hijau;Pemikiran Guru Besar IPB. IPB Press. Bogor. Hal:250-261.
Ruswandi, Agus. Rustiadi, Ernan. Mudjikdjo, Kuswardhono.2007. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kesejahteraan Petani Dan Perkembangan Wilayah : Studi Kasus di Daerah Bandung Utara. Jurnal Agro Ekonomi, Vol 25, No 2, 207 – 219.
0 Response to "Good Agricultural Practice di Indonesia"
Posting Komentar